UNSUR-UNSUR HADITS
UNSUR-UNSUR HADITS
A.
UNSUR-UNSUR HADITS
1.
Pengertian Sanad
Sanad menurut bahasa berarti
sandaran, tempat kita bersandar. Sanad secara bahasa dapat diartikan pula al-mu`tamad
المعتمد)
(, yaitu yang di
perpegangi
(yang kuat) / yang bias di jadikan pegangan atau dapat juga di artikan :
(yang kuat) / yang bias di jadikan pegangan atau dapat juga di artikan :
“مارتفع من الارض “
Menurut istilah ahli hadits sanad ialah jalan
yang menyampaikan kepada matan hadits.
Secara terminologis , definisi sanad ialah :
طرىق المتن, اي سلسله الرواة الذين نقلواا المتن من مصدره الاول " هو”
Sanad adalah jalannya matan , yaitu silsilah para perawi yang
memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:32)
Maksudnya ialah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan
materi hadits sejak yang disebut pertama sampai rasul saw, yang perkataan,
perbuatan, takrir, dan lainnya merupakan materi atau matan hadits.[2]
Dengan peng ertian di atas , maka sebutan sanad hanya berlaku pada rangkaian
orang-orang, bukan dilihat dari sudut pribadinya secara perorangan, sedangkan
sebutan untuk pribadi, yang menyampaikan hadits di lihat dari sudut perongannya
disebut dengan rawi. Sanad sering disebut juga thariq dan wajh.[3]
Selain sanad, dalam hadis terdapat istlah isnad. Isnad menurut ilmu bahasa
menyandarkan, sedangkan menurut istilah isnad ialah menerangkan sanad hadits
(jalan menerima hadis). Menurut Ath-Thibi, sebagaimana di kutip al-Qosimi ,
kata al-isnad dengan as-sanad mempunyai arti yang hampir sama atau berdekatan, berbeda
dengan istilah al-musnad mempunyai beberapa arti : pertama, berarti hadits yang
di riwayatkan dan di sandarkan atau di sanadkan kepada seseorang yang
membawanya seperti ibn-Syihab az-Zuhri, Malik bin Annas, dan Amarah binti Abdarrahman
; kedua, berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadits-hadits dengan sisitem
penyusunannya berdasarkan nama-nama para sahabat perawi hadits , seperti kitab
musnad ahmad, berarti nama bagi hadits yang memenuhi riteria marfu` (di
sandarkan kepada nabi saw.) dan muttashil ( sanadnya bersambung sampai kepada
akhirnya ).[4]
Isnad adalah:
رفع الحديث الى قائله او فاعله
“Menyandarkan hadits kepada orang yang mengatakannya.”
(Hasbi As-Shiddiqi,1985,43).
Atau:
عزو الحديث الى قا ئله
“Mengasalkan
hadits kepada orang yang mengatakannya.”
Adapun orang yang menerangkan hadis
dengan menyebutkan sanadnya, dinamakan musnid. Adapun hadis yang disebutkan
dengan diterangkan sanadnya yang sampai kepada nabi dinamakan musnad.[5]
Dengan sanadlah dapat diketahui mana yang diterima, mana yang ditolak, mana
yang sah diamalkan, mana yang tidak sah. Asy-syafii mengatakan perumpamaan
orang yang mencari hadits tanpa sanad sama dengan orang yang mengumpulkan kayu
api dimalam hari yang gelap.[6]
2.
Pengertian Matan
Matan menurut bahasa adalah punggung
jalan (muka jalan), tanah yang keras dan tinggi ” ما صلب و ارتفع من الارض
”. Kata matan dalam ilmu hadits ialah penghujung sanad, ada juga yang
mengatakan materi atau lafal hadits itu sendiri. Sedangkan menurut ath-Thibi
mendefinisikannya dengan:
الفظ الحديث التى تتقوم ها
معانية
“Lafal-lafal hadits yang didalamnya mengandung makna-makna
tertentu.”
(Ajjaj Al-Khatib,t.t.:31)
3.
Pengertian Rawi
Rawi adalah seorang yang mengutip
hadis sekaligus dengan isnadnya, dia bisa laki-laki maupun perempuan.[7]Rawi
menurut bahasa adalah orang yang meriwayatkan hadits atau memberitakan hadits.[8]
Menurut Maslani dan Ratu Suntiah (Ikhtisar Ulumul Hadits:16) bahwa sanad dan rawi
itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sana-sanad pada tiap
Thobaqoh-nya, juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang
yang meriwayatkan dan memindahkan hadits. Akan tetapi yang membedakan antara
rawi dan sanad terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadits.[9]
Menurut A.Hasyim yang dikutip Maslani dan Ratu Suntiah (Ikhtisar
Ulumul Hadits:17), rawi ialah orang yang menyampaikan dan menuliskan dalam
suatu kitab apa-apa yang telah didengar dari seorang gurunya (A.Hasyim,
2004:120)
الراوي من
تلقي االحديث واده بصيغة من صيغ الاءداء
“Rawi adalah
orang yang menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa
penyampayanya .”[10]
Jadi rawi itu ialah orang yang
menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki
maupun perempuan. Atau orang yang telah
menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab. Menurut
ilmu hadits Rawi adalah “orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang
dari penelitian hadits adalah penelitian terhadap rawi hadits. Baik menyangkut
sisi positif maupun sisi negatif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu
Jarh dan Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kondisi perawi, apakah dapat
dipercaya, handal, jujur, adil, dan tergas atau sebaliknya.
4.
Pengertian
Riwayat, Takhrij dan Mukharij
Riwayat menurut bahasa ialah
memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain. Menurut
ilmu hadits ialah memindahkan hadits dari seorang guru kepada muridnya atau
membukukannya kedalam kumpulan hadits. [11]
Takhrij menurut bahasa ialah
mengeluarkan sesuatu dari suatu tempat. Menurut istilah ilmu hadits ialah:
a.
Mengambil sesuatu hadits dari suatu kitab, lalu mencari sanad yang
lain dari sanad penyusunnya kitab itu. Orang yang mengerjakan hal ini,
dinamakan mukharij dan mustakhrij.
b.
Menerangkan perawi dan derajat hadis yang tidak diterangkan.[12]
Adapun mukharrij (مخرّج) berasal dari kata: kharraja (خرّج) Akhraja (أخرج) mukhrij (مخرج) mukharrij (مخرّج) “orang yang mengeluarkan”. Menurut para Ahli Hadits, mukharrij:
المخرج هو الذي يشتغل بجمع
الحديث
“mukharrij
atau mukhrij ialah orang yang menyusun (mengumpulkan) hadits “
Rawi dan Mukhrij adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangunan
sebuah hadits. Mukharij maksudnya ialah “Orang yang mentakhrij hadits dan
mengumpulkannya pada satu kitab hadits” Misalnya, Imam Bukhari, Imam
Muslim, dan yang lainnya. Ada juga yang mengatakan Mukhorij adalah orang yang menyebutkan
perawi hadits. Contoh sebuah hadits:
عن ابى
هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: لا سهم فى الاسلام لمن لا صلاة له ولا صلاة لمن لا وضوء له.
(رواه البزار و اخرج الحاكم عن عا ئشة رضي الله عنها)
“Dari
Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw besabda,” Tiada bagian dalam islam bagi orang yang tidak mengerjakan
shalat dan tiada shalat bagi orang yang tidak berwudhu.” ( HR. Bazzar dikeluarkan
oleh imam Hakim dari Aisyah ra.)”[13]
عن معاذ
بن جبل رضي الله قال: قال رسول الله صلي الله عليه و سلم: ليس يتحسر اهل الجنة الا
علي ساعة مرت بهم لم يذكروا الله تعالى فيها. (اخرجه الطبرانى و البيهقي رواه احمد
و ابن حبان و الحاكم باسناد صحيح) “Dari Muadz bin Jabal ra.
Rasulullah saw bersabda,” Ahli surga tidak akan menyesali apapun (segala sesuatu
di dunia) kecuali atas waktu yang mereka lalui tanpa dzikrullah didalamnya.”
(dikelurkan oleh Thabrani dan Baihaqi diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban,dan
Hakim dengan sanad yang shaih).”[14]
B.
SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSFORMASI
1.
Syarat-Syarat Seorang Perawi
a.
‘Adl dan Jarh
Jarh dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalul hadits.
Mustafa Al-Saba’i
memasukkan ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang paling berharga dalam “Ulum Al
Hadits”. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan
terjadi kredibilitas, perawi hadits akan terukur dengan jelas. Mengingat ilmu ini
sangat penting, siapapun
yang menggeluti hadits ia harus mempelajarinya. Karena ilmu ini menjadi penentu
hadits, apakah termasuk shohih atau tidak, layak dijadikan sumber hukum atau tidak.
‘Adl menurut pendapat ulama ialah suatu tenaga jiwa (malakah) yang
mendorong kita tetap berlaku taqwa dan memelihara muru’ah. Orang
yang seperti ini dinamakan adil. Muru’ah
ialah membersihkan dari segala macam perangai yang kurang baik seperti buang
air besar ditengah jalan. Menurut ulama hadits’ adl ialah:
والتعديل هو
تزكية الراوي و الحكم عليه بانه عدل او ضا بط
“Menilai bersih terhadap seorang
rawi dan menghukumiya bahwa ia adil dan dhabit”.[15]
Sedangkan jarh menurut bahasa ialah melukakan badan yang karenanya mengeluarkan darah (Hasbi, 1981:
2004). Menurut istilah ialah mencela
perawi dan menolak riwayatnya. Menurut istilah ilmu hadis jarh adalah:
"Tampak suatu sifat pada perawi yang merusakkan
keadilannya, hafalannya, karena gugurlah riwayatnya atau dipandang lemah."
(Ajaj al-Khatib, 1986:260). Sebagian ulama hadits mengatakan:
الجرح عند
المحدثين الطعن فى راوى الحديث بما يسلب او يخل بعدا لته او ضبطه
“Menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga
mengangkat atau mencacatkan adil dan kedhabitannya”.[16]
Sifat-sifat yang menggugurkan
keadilan perawi ada lima:
v Dusta
v Tertuduh dusta
v Fusuq (melanggar perintah)
v Jahalah atau tidak terkenal
v Menganut bid’ah
Cacat-cacat yang merusakkan
keshahihan hadis, yaitu:
Ø Terlalu lengah
Ø Banyak keliru (salah)
Ø Menyalahi orang-orang yang
terpercaya
Ø Banyak berprasangka
Ø Tidak baik hafalannya
Berakal cakap, adil dan islam adalah
syarat-syarat yang mutlak harus dipenuhi oleh rawi agar riwayatnya dapat
diterima. Syu’bah bin al-Hajjaj mengatakan bahwa ada dua
syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi bila haditsnya
ingin diterima yakni cakap atau cermat dan adil. Mengenai persyaratan harus islam dan
berakal keduanya sudah persyaratan yang berlaku mutlak.[17]
Menurut ulama hadis syarat yang harus
ada pada seorang rawi bukan hanya saja berakal tetapi baligh pun harus terdapat
paa seorang perawi.[18]
Yang dimaksud dengan seorang rawi yang cermat
adalah dia yang mendengarkan riwayat sebagaimana mestinya, mampu memahaminya
dengan cermat dan saksama, menghafalnya dengan sempurna, hingga tidak
menimbulkan keraguan, mempertahankan semuanya secara utuh mulai saat mendengar
sampai waktu menyampaikannya.[19]
Seorang rawi yang adil
harus memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat,
terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga dirinya jatuh dan
ia meriwayatkan hadits dalam keadaan sadar.Maka dari itu rawi di tuntut
mengetahui atau menguasai isi kitabnya. Jika
meriwayatkan haditsnya dari kitab dan juga ia harus mengetahui hal – hal yang
dapat menggangu makna hadits yang diriwayatkan. Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten
dan berkomitmen tinggi terhadap urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan
dan dari hal-hal yang dapat merusak kepribadian.[20]
Al-Khatib al-Baghdadi memberikan definisi tentang adil sebagai berikut: “Adil
adalah yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkan
kepadanya, dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan,
mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam dalam segala tindakan dan
pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak
kepribadian. Barang siapa dapat mempertahankan sifat-sifat
tersebut ia bisa disebut bersikap adil terhadap agamanya, dan hadis-hadisnya
diakui kejujurannya.”[21]
b. Memiliki Pengetahuan Bahasa Arab
Seorang rawi harus benar-benar
memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam, diantaranya, perawi harus
seorang ahli ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan
maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan
tepat.
Perawi dalam kondisi
terpaksa, lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat
diperlukan, hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits,
atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya sementara nilai
pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat
Islam.
Perawi harus menyertakan kalimat-kalimat yang menunjukkan bahwa hadits
tersebut diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat -
kalimat “Ad kama kola”.Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al
makna (Makna) di perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu
tidak merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayatan.
[22]Tetapi
cara ini hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang langsung mereportase
prilaku Nabi saw. Kebolehan periwayatan hadits dengan makna
terbatas, pada masa sebelum di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa
pembukuan (tadwin) hadits,harus dengan lapadz. Kedudukan boleh
tidaknya meriwayatkan hadits denan makna, sejak sahabatpun
sudah controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya. Tetapi,
sebenarnya mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz tidak
melarang secara tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan makna.
c.
Sanadnya
harus muttasil (bersambung)
Sanad
yang muttasil artinya tiap-tiap perawi betul-betul
mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya
benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
d.
Kuat hafalannya
Adapun yang dimaksudkan dengan kuat ingatan/
kokoh ingatan ialah sempurna ingatannya sejak ia menerima haditsnya itu dan
dapat meriwayatkannya setiap saat. Kekohan ingatan (kekuatan ingatan) perawi
itu,dibagi dua:
·
Kuat ingatannya karena kitabnya terpeihara. Ini dinamakan dinamakan
dhabith al-kitab.
·
Kuat hafalan dan pemahamannya. Ini dinamakan dhabith ash-shadari.
e.
Tidak
bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
f.
Tidak
berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.
Perawi-perawi
yang tidak langsung ditolak riwayatnya dan tidak terus diterima riwayatnya
ialah:
v Orang yang diperselisihkan tentang
cacatnya dan tentang keadilannya.
v Orang yang banyak kesilapan
(kesalahan) nya dalam menyalahi imam-imam yang kenamaan/terpercaya dalam
riwayat-riwayatnta.
v Orang yang banyak lupa
v Orang yang rusak akal diakhir
umurnya
v Orang yang tidak baik hafalannya
v Orang yang menerima hadis dari
sembarang orang saja.
Hukum
mencela para perawi menurut Al-Ghazaly
dalam Ihya Ulumuddin dan an-Nawawy
dalam Riyadh as-Shalihin dan ulama lain berpendapat mencela keadaan seseorang baik dia
masih hidup ataupun sesudah meninggal dibolehkan apabila karena ada sesuatu
kepentingan agama.
Ada 6 sebab yang meembolehkan
mencela seseorang:
Ø Karena teraniaya.
Ø Meminta pertolongan
untukmembasmikemungkaran.
Ø Untuk mencela fatwa
Ø Untuk menghindarkan diri dari
kejahatan
Ø Orang yang dicacati adalah
orang-orang yang terang-terangan berbuat bid ‘ah.
Ø Untuk memperkenalkan pribadi yang
sebenarnya.
Adapun
nama-nama perawi yang dikenal maupun yang tidak dikenal adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Tirmidzi, Nasai,
Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Imam Ahmad. Al-Khathib al-Baghdady dalam kitab al-Kifiyah mengatakan orang yang
majhul menurut ahli hadits ialah orang yang tidak dikenal mencari hadis dan
tidak pula dikenal oleh sebagian besar ulama dan hanya diterima dari seorang
perawi saja, seperti Amar Darinur, Jabbar at-Tha’i, Abdullah ibn
Awaj al-Hamdani dan Sais ibn Haddan.
Adapun Sahabat-sahabat
yang banyak meriwayatkan hadis yang terkenal dengan sebutan bendaharawan hadis, yakni menerima hadis menghafal dan
mengembangkan atau meriwayatkan hadis lebih dari 1000 hadis adalah:
a. Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi,
beliau meriwayatkan 5374, menurut Al-Kirmany 5364.
b. Anas ibn umar, meriwayatkan 2630.
c. Anas ibn malik, meriwayatkan 2276.
d. Aisyah istri Rasul SAW meriwayatkan
2210.
e. Abdullah ibn Abbas, meriwayatkan
1660.
f.
Jabir ibn Abdullah, meriwayatkan 1540.
g. Abu sa’id al-khudri meriwayatkan
1170.
h. Abdullah ibn Mas’ud.
i.
Abdullah ibn Amribn Ash.
Mereka memperoleh riwayat-riwayatnya yang banyak karena:
1.
Mereka paling awal masuk islam
2.
Terus menerus mendampingi nabi saw
3.
Menerima riwayat dari sebagian sahabat selain mendengar dari nabi
saw
4.
Lama menyertai nabi saw dan mengetahui keadaan-keadaan nabi saw
5.
Berusaha untuk mencatatnya
[1]
Nawir Yuslem,op, cit., halaman 148
[3]
Sohari Sahroni, Ulumul Hadits (IAIN SMH Banten, 2005) halaman 129
[9] Ulumul
Hadis, halaman 108-109
[10] Al-Manhaj al-Hadits
bagian rawi hlm.5
[11] Tengku
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Studi Hadits, (Semarang,
Pustaka Rizki Putra, 2009) halaman 37
[12] Nuruddin, Ulumul
Hadits, (Bandung, Rosdakarya, 1994) halaman 191
[13] Syekhul
Hadits Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandhalawi,Fadhail Amal, (Jakarta,
Pustaka Nabawi,2003), halaman 227
[14]
Syekhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya al-Khandhalawi,Fadhail Amal, (Jakarta,
Pustaka Nabawi,2003), halaman 337
[17] Lihat Ihya Ulumuddin (Afat AL-Lisan), 3: 148-150; Riyadh
ash-Shalihin, 374-375; ar- Rafu wa at-Takmil karya al-Kunawi dengan catatan
kakinya halaman 9-11dan at-tadrib halaman 520
[21]
Bandingkan dengan Taudliah al-Afkar 2/118
[22]
T.M. Hasbi As-Sidiqy…, op. cit. halaman 13-14
0 Response to "UNSUR-UNSUR HADITS"
Post a Comment